Narasumber: Dr. Seto Mulyadi, Psi. M.Si
Secara etimologis, homeschooling adalah sekolah yang diadakan di rumah. Namun secara hakiki, homeschooling adalah sebuah sekolah alternatif yang menempatkan anak-anak sebagai subyek dengan pendekatan pendidikan secara “at home” . Melalui pendekatan “at home” inilah, anak-anak merasa nyaman belajar karena mereka bisa belajar apa pun sesuai dengan keinginannya, kapan saja dan di mana saja seperti ia tengah berada di rumahnya.
Belajar yang Fleksibel dan Menyenangkan
Saat ini di AS ada sekitar 1,8 juta anak yang belajar dengan sistem homeschooling. Menurut Karl M. Bunday dalam tulisannya yang berjudul Learn in Freedom, mengatakan bahwa fenomena ini terjadi karena kecemasan orangtua terhadap masa depan anak-anaknya yang belajar di sekolah formal. Di homeschooling, orangtua yang mengetahui bakat dan hobi anak-anaknya bisa mengarahkan pendidikan mereka dengan jalan mendidiknya sendiri atau mendatangkan guru-guru ke rumah. Bahkan di Amerika, dengan semakin banyaknya anak-anak yang belajar di homeschooling, para orangtua pun membentuk network untuk membagi pengalamannya kepada orangtua lain yang mendidik anaknya di homeschooling.
Jika minat anak-anaknya sama, beberapa orangtua membentuk kelompok pendidikan dan mengajak mereka belajar bersama dengan anak-anak lain yang berminat sama. Jadi, mirip seperti sekolah formal dengan beberapa murid – namun esensinya tetap homeschooling. Mereka belajar secara fleksibel, menyenangkan dan sesuai dengan minatnya. Jika lelah, mereka bisa beristirahat kapan pun. Begitu pula jika ingin belajar, mereka pun bisa belajar kembali dengan senang setiap saat. Waktu dan lamanya belajar sangat fleksibel.
Barangkali, itulah sebabnya Everett Reimer – seorang pakar pendidikan yang reformis – menyatakan bahwa sistem sekolahan formal yang kaku kini telah berubah. “Kedatangan anak ke sekolah tidak identik dengan belajar. Belajar bisa dilakukan di mana saja. Ruang sekolah bisa di kamar tidur, dapur, warung, lapangan olahraga, dan lain-lain,” ungkap Reimer dalam tulisannya yang berjudul “School is Dead”.
Homeschooling di Indonesia
Sejak tanggal 4 Mei 2006 di Kantor Depdiknas Jakarta oleh beberapa tokoh dan praktisi pendidikan telah dideklarasikan berdirinya ASAH PENA (Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif ) yang akan mengakomodasi berbagai kegiatan pendidikan alternatif di Tanah Air.
Kita lihat saja bunyi UU Sisdiknas Pasal 27 ayat (1) yang mengatakan bahwa: “Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri”. Lalu ayat (2) mengatakan bahwa : “Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.”
Karena itu homeschooling bisa didaftarkan sebagai komunitas belajar pendidikan non formal dan kemudian pesertanya bisa mengikuti Ujian Nasional Kesetaraan Paket A (setara SD), Paket B (setara SMP), dan Paket C (setara SMA).
Dalam sistem pendidikan Nasional kita, penyelenggaraan homeschooling didasarkan pada Undang-Undang Republik Indonesia No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas No.20/2003), Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahklak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.
Mengapa Homeschooling?
Di Indonesia, ada beberapa alasan masyarakat untuk memilih homeschooling sebagai pendidikan alternatif, yaitu:
Kekuatan Homeschooling
Sebagai sebuah pendidikan alternatif, homeschooling juga mempunyai beberapa kelebihan, antara lain:
Kiranya semakin memperkuat pula keyakinan kita bahwa homeschooling merupakan salah satu alternatif pendidikan di masa depan serta akan mempercepat tercapainya masyarakat belajar yang merupakan salah satu ciri masyarakat madani.