Pemberian hadiah sebagai ungkapan terima kasih karena sudah dibantu kini populer dengan sebutan ‘gratifikasi’yang dalam Buku Saku Memahami Gratifikasi terbitan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) halaman 19 sangat bervariasi bentuknya, selain pemberian bingkisan, dapat pula berupa hadiah/angpau pernikahan dari rekanan/bawahan pada anak pejabat yang menikah, parsel/hadiah saat perayaan hari besar agama dari rekanan/bawahan pada pejabat terkait, pemberian tiket perjalanan/ongkos naik haji/hadiah ulangtahun/diskon khusus pembelian barang dari rekanan untuk pejabat/keluarganya, dan pemberian souvenir/hadiah pada pejabat saat kunjungan kerja.
Kenapa KPK sampai menaruh perhatian khusus pada ‘gratifikasi’ ? Buku yang sama pada halaman 1 menjelaskan ‘Terbentuknya peraturan tentang gratifikasi ini merupakan bentuk kesadaran bahwa gratifikasi dapat mempunyai dampak yang negatif dan dapat disalahgunakan, khususnya dalam rangka penyelenggaraan pelayanan publik …”
Dampak negatif gratifikasi adalah menurunnya kualitas performa kerja penerima hadiah akibat tumbuhnya kecenderungan untuk memprioritaskan pelayanan pada pemberi hadiah dibanding yang lain, secara psikologis gratifikasi berpotensi membunuh pelan-pelan sifat ikhlas dalam bekerja karena munculnya harapan mendapat imbalan di luar pendapatan resmi atas jasa yang diberikan, dan gabungan itu akan merusak profesionalisme kerja keseluruhan dalam sistem. Bayangkan bila hal itu terjadi dalam sebuah institusi pendidikan yang bertugas menempa kognisi dan karakter anak-anak kita.
Rumah Belajar Persada (RBP), Jatibening Baru, Bekasi; adalah salah satu institusi pendidikan mandiri yang menerapkan larangan gratifikasi di lingkungan kerjanya. RBP yang juga merupakan penyelenggara Homeschooling Kak Seto (HSKS) Jatibening itu memang tidak mengizinkan para guru yang berkarya edukatif dalam naungannya untuk menerima gratifikasi dalam bentuk apapun dari para orangtua anak-anak didik mereka.
“Kecuali bila orangtua yang bersangkutan bersedia memberikan hadiah yang sama pada semua guru secara anonim dan disalurkan melalui Ketua Yayasan.” Ujar salah satu founder RBP, Revita Tantri, dalam sebuah perbincangan via Whatsapp Selasa (28/7) pagi,” (Aturan) ini dimaksudkan untuk menegakkan obyektifitas dalam diri guru selaku pendidik terhadap anak-anak didiknya.”
Lebih lanjut Revita memaparkan,”Bayangkan kalau ada orangtua yang memberi ‘tips’ atau ‘hadiah’ rutin pada guru tertentu saja, kira-kira akan mampukah guru yang bersangkutan mempertahankan obyektifitasnya saat mengedukasi anak dari orangtua tersebut? Apakah perlakuan fair dan equitable (adil, -pen.) bisa ditegakkan?” Perlakuan diskriminatif akan memberikan dampak buruk bagi tumbuh-kembang kejiwaan anak dan itu harus dihindari sejauh mungkin.
Tujuan pemberian hadiah sesungguhnya bukan untuk memancing perilaku wanprestasi para penerimanya, namun untuk membangkitkan kegembiraan yang nantinya diharapkan dapat memacu mereka berkarya lebih baik lagi. Dedikasi mendidik memang harus tumbuh dalam hati setiap guru dengan jalan terus belajar dan berlatih mengendalikan hati serta pemikiran dalam upaya terus menerus memperbaiki diri sebagai figur yang layak diteladani oleh lingkungan sosialnya. Tentu saja senua dilakoni dengan tulus ikhlas tanpa berharap adanya kado-kado gratifikasi dari para anak didik.